Monday, December 28, 2015

MANDALA KEMBALI KE NEGERI SILUMAN?


MANSYUR Daman alias Man begitu identik dengan Mandala, pendekar masyhur
berjuluk Siluman Sungai Ular. Tokoh silat ini mencapai zaman keemasannya di era
70-an, seperti halnya Jaka Sembung (Djair), Si Buta dari Goa Hantu (Ganes TH),
Gundala Putera Petir (Hasmis), Godam (Wid NS), Labah-Labah Merah (Kus
Bramiana), ataupun Nusantara (Mater). Bedanya, hidup Mandala di dunia komik
sampai sekarang tetap terjaga lantaran Man masih berkarya.
Kini goresan komikus kelahiran Jakarta, 3 Juli 1946, itujauh lebih sempurna (lihat
Bunuh Mandala dan Pedang Mercubuwana). Ilustrasi Man punya kelebihan pada
ekspresi wajah dan gerak tubuh manusia yang terasa hidup, baik dalam kondisi diam
ataupun ketika terlibat pertarungan dengan lawan. Goresan kuas-tintanya begitu
tegas dan indah, sebuah ketrampilan yang semakin menghilang dari para komikus
muda. Plot cerita yang dia bangun selalu mengalir lancar, namun tidak pernah absen
menghadirkan kejutan bagi para pembaca. Karya Man era kini, tidak seperti komik
hitam-putih gaya Jepang, jauh lebih indah karena menggunakan teknik sapuan basah
abu-abu untuk mendapatkan gradasi gelap-terang lebih lembut.
Kembali pada Mandala, pendekar dengan jurus andalan pukulan Badai Salju dan Ilmu
Mengosongkan Isi itu pernah meramaikan film nasional. Di tahun 80-an Golok Setan
diangkat ke layar lebar dengan bintang utama Barry Prima. Mandala yang begitu
digdaya terlibat pertarungan hidup-mati dengan saudara tirinya, Banyujaga. Meski
dibantu Ni Nara Sati, ratu dari Negeri Siluman Buaya Putih, tapi Banyujaga tetap
kalah dan akhirnya menemui ajal.
Masa kecil Mandala dan Banyujaga terbilang menarik. Dua bocah itu merupakan anak
tiri Ni Nara Sati, kendati Mandala datang belakangan ke Negeri Siluman Buaya Putih
setelah tercebur di Sungai Ular. Jadilah Mandala dan Banyujaga digembleng
mahaguru Negeri Siluman dan mewarisi jurus silat yang aneh-aneh. Salah satunya
pukulan Gelombang Batu Karang yang hanya dalam kondisi terdesak dia keluarkan.
Walau beruntung mendapat bimbingan guru hebat tapi Mandala tidak pernah lupa
akan kodratnya sebagai manusia.
Pada akhirnya hal inilah yang membuat statusnya di Negeri Siluman berbalik seratus
delapan puluh derajat: dari anak kesayangan menjadi musuh utama. Mandala yang
masih bocah keceplosan omong dengan memberitahu Banyujaga bahwa mereka
berdua hanyalah anak angkat Ni Nara Sati. Marah besarlah sang ratu! Andai saja
Mandala tidak berhasil meloloskan diri barangkali nyawanya tercabut di dasar
Siluman Ular saat itu juga.
Tapi begitulah, sesuai kehendak Tuhan (eh.., Man), Mandala berhasil menyelamatkan
diri dan itu menjadi titik awal petualangan panjangnya di dunia persilatan. Pada
pameran "Retro Man 50 Tahun Berkarya" di Bentara Budaya, Jakarta, April 2013,
silam, saya sempat ngobrol sejenak dengan Man. Kepada komikus senior itu saya
usulkan cerita kembalinya Mandala ke Negeri Siluman Buaya Putih. Bagaimanapun,
menurut pandangan saya, Mandala perlu memberikan baktinya kepada Ni Nara Sati
setelah sekian tahun dijadikan anak angkat. 

Man (kiri) dan saya di sela pameran di Bentara Budaya, Jakarta.

Usul itu saya sampaikan usai membaca Pedang Mercubuwana yang mengisahkan
petualangan Mandala di negeri siluman--tapi bukan Negeri Siluman Buaya Putih. Kalau
Mandala sudi membantu Raja Siluman Jangkrik yang tengah menghadapi masalah
berat, mestinya hal sama bisa dia lakukan kepada Ratu Negeri Siluman Buaya Putih.
Pikiran saya, gampang saja bagi Man menghadirkan kekisruhan di Negeri Siluman
Buaya Putih hingga Ni Nara Sati meminta bantuan kepada Mandala. Atau, sebagai
bentuk bakti, tanpa dimintai bantuan pun Mandala dengan suka hati datang membantu
ibu tirinya itu.

"Usul menarik Mas, saya juga sudah lama kebayang cerita seperti itu," jawab Man
kepada saya. Semua berpulang kepada Man, apakah Mandala nanti benar-benar
kembali ke 'negeri asal'-nya atau tidak. Namun bagi saya, pendekar kosen itu perlu diberi
kesempatan membayar budi kepada ibu tirinya atas kasih sayang dan limpahan ilmu
silat hebat yang dia terima semasa bocah. Dengan begitu tak ada lagi ganjalan hati di
antara keduanya. (Sumarlin, 8 Nov 2014)

DUA MAESTRO TERLIBAT SERANGAN UMUM 11 MARET



SIAPA tak kenal Wid NS? Penggemar komik Indonesia pasti tahu lelaki kelahiran Jogjakarta, 22 November 1938, itu adalah kreator Godam, superhero lokal yang tenar di tahun 1969 sampai awal 80-an. Godam menjadi idola remaja masa itu yang menjadikan taman bacaan sebagai salah satu pilihan utama untuk mencari hiburan---selain televisi yang hanya menyediakan channel TVRI. Ketika komik silat, superhero maupun roman percintaan berjaya di era 70-an, mereka yang tak rajin ke taman bacaan bisa dituding kurang gaul.
Seperti halnya Wid NS, nama Hasmi pun tak kurang tenar. Harya Suraminata, begitu nama lengkapnya, dikenal sebagai 'bapak'-nya Gundala Putera Petir. Belasan tahun Gundala malang melintang memberangus kejahatan berbekal ilmu lari secepat kilat dan kemampuan mengeluarkan petir dari kedua tangannya. Tahun 1982 kisah Gundala diangkat ke layar lebar dengan pelakon utama Teddy Purba. Kini, 32 tahun kemudian, Gundala bersiap kembali menyapa penggemarnya lewat film yang disutradarai Hanung Bramantyo. 

Hasmi di depan lukisan Gundala di Graha Pena, Surabaya. Sumber: JPNN


 Wid NS dan Hasmi adalah sahabat dekat. Mereka sering saling meminjamkan karakter superhero dalam komik garapan masing-masing. Tak aneh bila Gundala dan Godam kerap berkolaborasi dalam menumpas kejahatan. Satu waktu Wid NS meminjam Gundala, kali lain gantian Hasmi yang minta bantuan jasa Godam. Bila kolaborasi Godam dan Gundala sudah jamak, tak demikian halnya dengan Wid NS dan Hasmi.
Meski sehari-hari berkarya bersama di Studio Savicap, Jogjakarta, namun kedua
maestro itu terbilang jarang menggarap satu judul cerita bareng-bareng. Dan, salah satu momen langka itu adalah kala keduanya mendapat order mengerjakan komik Merebut Kota Perjuangan. Cergam full color yang diterbitkan Yayasan Sinar Asih Mataram cabang Jakarta, tahun 1984, itu bertutur tentang serangan umum 1 Maret 1949 di Jogjakarta dengan tokoh utama Soeharto.
Kisah serangan umum 1 Maret 1949 pada akhirnya membuka mata dunia bahwa TNI masih utuh. Terbukti, bersama-sama dengan rakyat, TNI mampu menduduki Jogjakarnya yang sebelumnya dikuasai tentara Belanda selama enam jam. Wid NS, yang bertindak sebagai sketser dan finisher, berbagi tugas dengan Hasmi selaku inker komik Merebut Kota Perjuangan. Dua nama itu sudah jadi jaminan betapa indah gambar yang dihasilkan.
Belum lagi masuknya nama Djoni Andrean dan Hasyim Katamsi. Djoni adalah pencipta Lamaut (Labah-Labah Maut), jagoan lokal yang penampakannya mirip-mirip Spiderman. Meski tak sepopuler Godam maupun Gundala, nama Lamaut tak asing lagi bagi langganan persewaan komik di awal 80-an.
Kelebihan Djoni terletak pada arsir ilustrasinya yang begitu halus serta hidup, terutama ketika menggambar lekukan kain. Ini yang membuatnya sering terima pesanan membuat ilustrasi sampul depan dari penerbit, entah untuk komik silat, superhero ataupun dongeng anak-anak. Sedangkan Hasyim Katamsi bisa dikenali dari keberaniannya melumurkan warna-warna tegas. 

Wid NS. Sumber: Wikipedia


Pendek kata, di tangan komikus-komikus andal itu, Merebut Kota Perjuangan menjelma jadi komik berkualitas, indah, dan (kini) langka. Tak mungkin diulang karena Wid NS telah berpulang di Jogjakarta, 26 Desember 2003, dalam usia 65 tahun. Sementara Hasmi, setelah terserang diabetes dan usia yang kian sepuh, tak seproduktif dulu lagi. 
Merebut Kota Perjuangan menjadi makin spesial karena memuat sambutan (mantan) Presiden Soeharo dalam tulisan tangan, Sultan Hamengkubuwono IX, juga  Walikota Jogjakarta periode 1947-1966, KPH MR Soedarisman Poerwokoesoemo. "Cergam tersebut bukan bermaksud menonjolkan jasa seorang atau golongan, melainkan bertujuan mengungkapkan fakta sejarah. Bahwa Republik Proklamasi ini diperjuangkan dengan penuh kepahlawanan dan pengorbanan," tulis Pak Harto dalam komik yang juga menghadirkan Jenderal Soedirman serta Bung Karno itu. (Sumarlin, 28 Nov 2014)